Senin, 21 Mei 2018

Sejarah Perpecahan HMI MPO dan HMI DIPO





Oleh Ovan Adohar


Mengawali tulisan ini, saya bersukur kepada Allah SWT, bahwa yang menyampaikan materi diskusi ini adalah pelaku sejarah perpecahan HMI MPO dan HMI DIPO, yaitu Aziz Talib. Dalam penyampainya banyak sekali mencerikan pengalaman berorganisasinya, karena latar belakang sebagai aktivis yang selalu turun dijalan untuk melawan tirani kekuasaan Orba. Aziz, menceritakan tentang berdirinya HMI yang didirikan oleh Prof. Lafran Pane pada tanggal 5 Februari 1947 di Yogyakarta, dalam penyampaiannya, Dalam perkembangannya perjalanan sejarah HMI hingga terbentuknya HMI-MPO telah mengalami proses pematangan konsepsi gerakan. Ditingkat internal, tujuan HMI juga telah mengalami perubahan sampai enam kali. Hal ini menunjukkan bahwa HMI MPO senantiasa menyikapi secara kritis dinamika melingkupinya dengan tetap berupaya menegaskan prinsip-prinsip vital gerakannya.
Pemerintahan soeharto pada era orba sangat mengutamakan politik keseragaman dan pemusatan kekuasaan. Oleh karena itu, semua kekuatan sosial dan politik diapaksa untuk mengubah dasarnya dengan Pancasila. Jika menolak dapat berakibat dibubarkan. Tahun 1985 pemerintah mengeluarkan kebijakan UU ormas yang mewajibkan semua ormas memakai asas tunggal Pancasila. Hmi-pun terkena dampaknya. Kongres XVI di kota Padang pada tahun 1986 menjadi saksi pengaruh Negara yang berlebihan untuk memaksakan asas tunggal. MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) Hmi menolak menurut mereka Isalam adalah satu-satunya ideologi yang mereka anut dan menurut pemerintah, berarti gerakan mahasiswa sudah melupakan karakteristik mendasar, yaitu oposan dan tidak pro status.-quo. Hmi akhirnya pecah menjadi dua, Hmi Pancasila menjadi Hmi yang resmi diakui Negara (tahun 1999 Hmi DIPO mengubah asas pancasial menjadi islam) dan Hmi Majelis Penyelamat Organisasi (Hmi MPO) yang tetap kukuh berasas Islam.. Format gerakan HMI mengalami perubahan besar sejak munculnya HMI MPO yang menjadi simbol perlawanan kelompok-kelompok kritis dalam HMI. Banyak yang mengatakan bahwa bahwa HMI MPO merupakan anak haram dari tubuh HMI.
HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba orde baru. Ditengah situasi kehidupan kebangsan dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman warga negara dan diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI MPO hadir sebagai sosok pendekar yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah satu-satunya organisasi Islam yang pertama kali menuntut turunnya Suharto dari kursi kepresidenan. Maka tak heran jika selama kekuasaan orde baru, HMI MPO menjadi organisasi 'bawah tanah' yang berjuang melawan rezim dengan segala resikonya.
Tambahan nama MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di belakang HMI sebenarnya muncul saat menjelang kongres HMI XVI yang diselenggarakan di Padang pada tanggal 24-31 Meret 1986. Menjelang diselenggarakannya kongres HMI XVI di Padang, Sumatera barat, tahun 1986. Mulanya MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI begitu terkooptasi oleh rezim orde baru. Kelompok ini merasa perlu bergerak untuk mengantisipasi intervensi penguasa pada HMI dengan mewajibkan HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya demokrasi di Indonesia.
Untuk menyampaikan aspirasinya, mula-mula forum MPO ini hanya berdialog dengan PB(pengurus besar) HMI. Akan tetapi karena tanggapan PB yang terkesan meremehkan, maka akhirnya MPO melakukan demonstrasi di kantor PB HMI (Jl. Diponegoro 16, Jakarta). Demonstrasi tersebut ditanggapi PB HMI dengan mengundang kekuatan militer untuk menghalau MPO. Beberapa anggota MPO malah ditangkap oleh aparat dengan tuduhan subversif. Akhirnya simpati dari anggota HMI mengalir dan gerakan ini menjadi semakin massif.
Akhirnya dalam forum kongres di Padang tesebut terpecahlah HMI menjadi dua, yaitu HMI yang menerima penerapan asas tunggal (HMI DIPO) dan HMI yang menolak asas tunggal (HMI MPO). Selanjunya kedua HMI ini berjalan sendiri-sendiri. HMI DIPO eksis dengan segala fasilitas negaranya, dan HMI MPO tumbuh menjadi gerakan underground yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan negara. Jama’ah HMI MPO walaupun sedikit namun kompak, mereka yakin bahwa apa yang diperjuangkannya untuk tetap bertahan dan berjuang mempertahankan Islam sebagai azas.Sejarah mencatat, setelah reformasi setelah azas tunggal pancasila dicabut, berbondong-bondonglah ormas-ormas dan orpol-orpol kembali ke azas semula. Tak terkecuali HMI DIPO, akhirnya mereka kembali kepada azas Islam.
Usaha untuk menyatukan kedua HMI bukannya tidak dilakukan. Perbedaan AD/ART dan pola rekruitmen pada awalnya menjadi hambatan terjadinya persatuan 2 Hmi. NDPberbeda dengan Khittah Perjuangan yang dimiliki HMI MPO, NDP lebih menitikberatkan pada wacana Islam kebangsaan yang dipadukan dengan pemikiran teologi pembebasan (liberal). Sedangkan Khittah perjuangan menekankan pada wacana penafsiran islam sebagai pandangan hidup (world of view) yang diselaraskan dengan pemikiran kesadaran keberislaman (teosofi transenden).
Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa perjuangan HMI MPO untuk tetap mempertahankan azas Islam merupakan bentuk konsistensi sebuah gerakan mahasiswa dalam melakukan perlawanan terhadap penindasan negara. HMI MPO berani menanggung resiko perjuangan untuk dikucilkan dan ditekan. Karena keistiqomahan dan keyakinannya maka HMI MPO dicatat sebagai satu-satunya organisasi yang sejak awal berani menolak kebijakan rezim orde baru yang korup. Sebenarnya, masalah yang besar adalah berbeda pandangan tentang islam dan Pancasila ini. Sehingga dalam penjelasannya yang terakhir, Aziz Talib menyampaikan bahwa ada tiga kesepakatan yang dibangun pada saat itu, yakni
1.    Jangan mempertentangkan islam dan Pancasila.
2.    Jangan samakan islam dan Pancasila.
3.    Jangan menganggap salah satunya kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar