Oleh Ovan Adohar
Mengawali tulisan ini,
saya bersukur kepada Allah SWT, bahwa yang menyampaikan materi diskusi ini
adalah pelaku sejarah perpecahan HMI MPO dan HMI DIPO, yaitu Aziz Talib. Dalam
penyampainya banyak sekali mencerikan pengalaman berorganisasinya, karena latar
belakang sebagai aktivis yang selalu turun dijalan untuk melawan tirani
kekuasaan Orba. Aziz, menceritakan tentang berdirinya HMI yang didirikan oleh Prof.
Lafran Pane pada tanggal 5 Februari 1947 di Yogyakarta, dalam penyampaiannya, Dalam
perkembangannya perjalanan sejarah HMI hingga terbentuknya HMI-MPO telah
mengalami proses pematangan konsepsi gerakan. Ditingkat internal, tujuan HMI
juga telah mengalami perubahan sampai enam kali. Hal ini menunjukkan bahwa HMI
MPO senantiasa menyikapi secara kritis dinamika melingkupinya dengan tetap
berupaya menegaskan prinsip-prinsip vital gerakannya.
Pemerintahan soeharto pada era orba sangat mengutamakan politik
keseragaman dan pemusatan kekuasaan. Oleh karena itu, semua kekuatan sosial dan
politik diapaksa untuk mengubah dasarnya dengan Pancasila. Jika menolak dapat
berakibat dibubarkan. Tahun 1985 pemerintah mengeluarkan kebijakan UU ormas
yang mewajibkan semua ormas memakai asas tunggal Pancasila. Hmi-pun terkena
dampaknya. Kongres XVI di kota Padang pada tahun 1986 menjadi saksi pengaruh
Negara yang berlebihan untuk memaksakan asas tunggal. MPO (Majelis Penyelamat
Organisasi) Hmi menolak menurut mereka Isalam adalah satu-satunya ideologi yang
mereka anut dan menurut pemerintah, berarti gerakan mahasiswa sudah melupakan
karakteristik mendasar, yaitu oposan dan tidak pro status.-quo. Hmi akhirnya pecah menjadi dua, Hmi Pancasila menjadi Hmi
yang resmi diakui
Negara (tahun 1999 Hmi DIPO mengubah asas pancasial menjadi islam) dan Hmi
Majelis Penyelamat Organisasi (Hmi MPO) yang tetap kukuh berasas Islam.. Format gerakan HMI
mengalami perubahan besar sejak munculnya HMI MPO yang menjadi simbol
perlawanan kelompok-kelompok kritis dalam HMI. Banyak yang mengatakan bahwa
bahwa HMI MPO merupakan anak haram dari tubuh HMI.
HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba orde baru. Ditengah situasi kehidupan kebangsan dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman warga negara dan diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI MPO hadir sebagai sosok pendekar yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah satu-satunya organisasi Islam yang pertama kali menuntut turunnya Suharto dari kursi kepresidenan. Maka tak heran jika selama kekuasaan orde baru, HMI MPO menjadi organisasi 'bawah tanah' yang berjuang melawan rezim dengan segala resikonya.
HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba orde baru. Ditengah situasi kehidupan kebangsan dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman warga negara dan diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI MPO hadir sebagai sosok pendekar yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah satu-satunya organisasi Islam yang pertama kali menuntut turunnya Suharto dari kursi kepresidenan. Maka tak heran jika selama kekuasaan orde baru, HMI MPO menjadi organisasi 'bawah tanah' yang berjuang melawan rezim dengan segala resikonya.
Tambahan nama MPO
(Majelis Penyelamat Organisasi) di belakang HMI sebenarnya muncul saat
menjelang kongres HMI XVI yang diselenggarakan di Padang pada tanggal 24-31
Meret 1986. Menjelang diselenggarakannya kongres HMI XVI di Padang, Sumatera
barat, tahun 1986. Mulanya MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI
yang prihatin melihat HMI begitu terkooptasi oleh rezim orde baru. Kelompok ini
merasa perlu bergerak untuk mengantisipasi intervensi penguasa pada HMI dengan
mewajibkan HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi pancasila. Bagi
aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap
gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya demokrasi di
Indonesia.
Untuk menyampaikan
aspirasinya, mula-mula forum MPO ini hanya berdialog dengan PB(pengurus besar)
HMI. Akan tetapi karena tanggapan PB yang terkesan meremehkan, maka akhirnya
MPO melakukan demonstrasi di kantor PB HMI (Jl. Diponegoro 16, Jakarta).
Demonstrasi tersebut ditanggapi PB HMI dengan mengundang kekuatan militer untuk
menghalau MPO. Beberapa anggota MPO malah ditangkap oleh aparat dengan tuduhan
subversif. Akhirnya simpati dari anggota HMI mengalir dan gerakan ini menjadi
semakin massif.
Akhirnya dalam forum
kongres di Padang tesebut terpecahlah HMI menjadi dua, yaitu HMI yang menerima
penerapan asas tunggal (HMI DIPO) dan HMI yang menolak asas tunggal (HMI MPO).
Selanjunya kedua HMI ini berjalan sendiri-sendiri. HMI DIPO eksis dengan segala
fasilitas negaranya, dan HMI MPO tumbuh menjadi gerakan underground yang kritis
terhadap kebijakan-kebijakan negara. Jama’ah HMI MPO walaupun sedikit namun
kompak, mereka yakin bahwa apa yang diperjuangkannya untuk tetap bertahan dan
berjuang mempertahankan Islam sebagai azas.Sejarah mencatat, setelah reformasi
setelah azas tunggal pancasila dicabut, berbondong-bondonglah ormas-ormas dan
orpol-orpol kembali ke azas semula. Tak terkecuali HMI DIPO, akhirnya mereka
kembali kepada azas Islam.
Usaha untuk menyatukan kedua HMI bukannya tidak dilakukan.
Perbedaan AD/ART dan pola rekruitmen pada awalnya menjadi hambatan terjadinya
persatuan 2 Hmi. NDPberbeda
dengan Khittah Perjuangan yang dimiliki HMI MPO, NDP lebih menitikberatkan
pada wacana Islam kebangsaan yang dipadukan dengan pemikiran teologi pembebasan
(liberal). Sedangkan Khittah perjuangan menekankan pada wacana penafsiran islam
sebagai pandangan hidup (world of view)
yang diselaraskan dengan pemikiran kesadaran keberislaman (teosofi transenden).
Dalam konteks ini, kita
dapat mengatakan bahwa perjuangan HMI MPO untuk tetap mempertahankan azas Islam
merupakan bentuk konsistensi sebuah gerakan mahasiswa dalam melakukan
perlawanan terhadap penindasan negara. HMI MPO berani menanggung resiko
perjuangan untuk dikucilkan dan ditekan. Karena keistiqomahan dan keyakinannya
maka HMI MPO dicatat sebagai satu-satunya organisasi yang sejak awal berani
menolak kebijakan rezim orde baru yang korup. Sebenarnya, masalah yang besar
adalah berbeda pandangan tentang islam dan Pancasila ini. Sehingga dalam penjelasannya
yang terakhir, Aziz Talib menyampaikan bahwa ada tiga kesepakatan yang dibangun
pada saat itu, yakni
1. Jangan
mempertentangkan islam dan Pancasila.
2. Jangan
samakan islam dan Pancasila.
3. Jangan
menganggap salah satunya kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar