Senin, 21 Mei 2018

DIALEKTIKA MASYARAKAT MADANI DAN CIVIL SOCIETY DITENGAH MODERNISASI DAN KEMAJUAN TEKHNOLOGI





Oleh Ovan Adohar

Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab). Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani. Konsep Masyarakat madani juga terdapat pada tamadhun (masyarakat yang beradaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun (2001) dalam konsep Al Madinah al Fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama)
Masyarakat sipil (civil society) ini banyak dikemukakan oleh Mansour fakih (2001) untuk menyebutkan prasyarat masyarakat dan Negara dalam rangka proses penciptaan dunia secara mendasar baru dan lebih baik. Begitu juga Menurut Thomas Paine bahwa arti masyarakat madani adalah suatu ruang tempat warga dapat mengembangkan kepribadiannya dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingan secara bebas dan tanpa paksaan (Azra,1999). Masyarakat madani merupakan masyarakat yang berperadaban (bermadaniyah) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan (Madjid, 1999). 
 Pengindonesiaan antara Masyarakat Madani dan Civil society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan.
Posisi Umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
Modernisasi ditandai oleh kreativitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidupnya di dunia ini. Penyebutan tahap perkembangan sejarah manusia yang sedang berlangsung sekarang ini sebagai Zaman Modern bukannya tanpa masalah. Masalah itu timbul karena inti dan hakikat zaman sekarang bukanlah kebaruannya (modern berarti baru), seolah-olah sesudah tahap ini tidak ada lagi tahap yang berarti berikutnya. Wujud keterkaitan antara segi teknologis diacu sebagai dorongan besar pertama umat manusia memasuki zaman sekarang ini, yaitu Revolusi Industri (teknologis) di Inggris dan Revolusi Perancis (sosial-politik) di Perancis.
 Dalam pandangan penulis, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Al-Quran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.  Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, penulis memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Al-Quran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Dalam jurnal yang ditulis oleh Muhammad Soim (2015), ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu: 1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman, dan 2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. 
Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, akrena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”.
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu, hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak. Manusia adalah makhluk yang menjalankan amanah dari Allah SWT. Menurut Mulla Sadra, wujud manusia adalah amanah yang tersimpan di pundaknya yang akan menemaninya di dalam kebersamaannya dengan orang lain, juga yang akan mengantarkannya menuju hari akhir dan diwaktu perjumpaannya dengan Allah SWT (Al-Mandary, 2003).
Menurut Arief Budiman (1990) ada dua orientasi pemerintahan yang baik dalam rangka menuju kepada masyarakat madani adalah pertama, Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yaitu mengacu pada demokratisasi dengan elemen: legitimasi, akuntabilitas, otonomi, devolusi (pendelegasian wewenang) kekuasaan kepada daerah, dan adanya mekanisme kontrol oleh masyarakat. Kedua, Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. 
Menurut Nurcholish Majid (2000) Masyarakat Islam Indonesia pada umumnya ketika memahami persoalan-persoalan teologis lebih menekankan kepada aspek pragmatis sebagaimana yang tercantum dalam teks al-Qur’an, al-Hadits, serta kitab-kitab klasik karya ulama madzhab (tekstual), dan mengkesampingkan pemahaman kontekstual.
Masyarakat madani atau civil society dapat diartikan sebagai suatu corak kehidupan masyarakat yang terorganisir, mempunyai sifat kesukarelaan, kemandirian, namun mempunyai kesadaran hukum yang tinggi dan Masyarakat Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara lainnya serta munculnya permasalahan yang bisa menjadi hambatan sekaligus tantangan dalam mewujudkan masyarakat madani model Indonesia. Ahmad Wahib dalam catatan hariannya ,mengatakan bahwa kaum intelektual Indonesia memikul tugas besar dalam pembangunan nasional dan pembaharuan masyarakat (Effendi, 1981).
Pernyataan di atas didukung oleh Komaruddin Hidayat (2012) yang mengatakan bahwa dalam membangun bangsa yang beradab dalam kemajuan tekhnologi setidaknya ada tiga hal yang perlu di perhatikan, pertama, ajaran dasar islam memiliki keluasan dan keluwesan sehingga mudah beradaptasi dengan kultur local tanpa kehingan substansi, terutama tauhid dan prinsip-prinsip ritualnya. Kedua, ketika Islam keluar dan berkembang dari tempat kelahirannya, Mekkah-Madinah, mau tidak mau harus terjadi proses adaptasi, akulturasi, dan kreasi kultural agar mudah diterima, bahkan terjadi pengayaan kultural dan intelektual yang tidak terbayangkan sebelumnya. Ketiga, perkembangan islam akan mudah diteriman oleh masyarakat yang semakin plural dan memberikan pencerahan moral, spiritual, dan intelektual, ketika tampil tidak dengan jargon dan kendaraan politis-idiologis. Begitu juga yang dikatakan oleh Nurcholish Majid (2000) Masyarakat madani yang sering diterjemahkan dengan civil society atau independent society adalah bentuk masyarakat yang dicita-citakan saat ini untuk menuju kehidupan bernegara yang lebih demokratis.
Dalam kemajuan Tekhnologi sebaiknya media sosial digunakan untuk kemajuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.  Untuk meciptakan suasana masyarakat yang kondusif maka sebaiknya kita berlaku religious, toleran, demokratis. Dalam kemajuan Tekhnologi sebaiknya media sosial digunakan untuk kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam bermasyarakat tentunya kita wajib bersikap demokratis, sikap toleran, saling pengertian, berakhlak tinggi, beriman dan bertaqwa, berwawasan global.


Daftar Pustaka
Al- Mandary, Mustamin. 2003. Menuju Kesempurnaan; persepsi dalam pemikiran Mulla Sadra. Safinah. Tembagapura.
Azra, Azyumardi. 1999. Menuju Masyarakat Madani. Remaja Rosdakarya. Bandung
Budiman, Arief.1990. State And Civil Society. Clayton: Monash Paper Southeast Asi No.22
Effendi, Djohan & Ismed Natsir. Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib. Pustaka LP3ES. Jakarta.
Fakih, Mansour, 2001, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi. Insist, Yogyakarta.
Hidayat, Komaruddin. 2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Noura Books. Jakarta
Ibnu Khaldun, 2001. Mukaddimah Ibnu Khaldun. Pustaka Firdaus. Jakarta
Wahib, Abdurrahman. 2006. Sang Pujangga; 70 tahun polemik kebudayaan menyongsong satu abad S. Takdir Alisjahbana. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Majid, Nurcholish. 1999.”Azas-Azas Pluralisme dan Toleransi dalam masyarakat madani “. Makalah seminar nasional, “Masyarakat Madani dalam Prespektif Agama dan Politik”. Oleh IAIN Jakarta, 22 februari 1999.
Majid, Nurcholish, 2000. Masyarakat religious, Paramadina, Jakarta
Majid, Nurcholish, 2000, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta
Majid, Nurcholish, 2000. Kehampaan Spiritual masyarakat Moderen, Media Cita.Jakarta.
Soim, Muhammad. 2015. Miniatur Masyarakat Madani; Perspektif Pengembangan Masyarakat Islam Jurnal Risalah, Vol. 26, No. 1, Maret 2015: 23-32.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar