Oleh
Ovan Adohar
Dr. M. Sabri AR menyampaikan
materi diskusi dalam forum Advance
Training (LK 3) HMI Badko Sulselbar pada hari minggu tanggal 06 Mei 2018, Mengawali pembahasan materi Sabri mebedakan pertemuan dan
perjuampaan. Menurutnya, pertemuan merupakan personal fisik sedangkan
perjumpaan merupakan konstruksi makna. Cara berpikir HMI harus di arahkan
kepada mind-set bukan lagi mind-sight. Materi diskusi ini Sabri
menjelaskan teori Max Weber seorang sosiolog
jerman mengatakan “untuk sebuah perubahan sosial tidak perlu kelompok besar”.
Pada abad ke 19 M, Weber dalam pemikirannya yang dikenal dengan omni preset yang artinya Tuhan maha
hadir menimbulkan banyak pengaruh dari dunia barat karena menyangkut protestan etic yang berarti kesadaran
nilai.
Pada abad ke
19 M, Max Weber membagi tiga konsep kehidupan manusia di eropa yaitu
modernitas, protestan etic, dan eropa. Selanjutnya kita kaitkan dengan
Indonesia pada tahun 1972 M yaitu modernitas, islam, dan Indonesia. Menurut Sabri,
dalam memahami Q.S. Arrad: 11, bahwa yang menjadi pelaku perubahan adalah Tuhan
dan objek perubahan adalah ummat. sedangkan terminology anfusihim adalah kepribadian yang akan merubah. Kata anfusihim hanya terdapat dalam beberapa
suku kata dalam Al-qu’an yaitu Akram,
Iqro’ yang artinya baca, orang membaca terdapat citra akuistik. Selanjutnya
menurut Sabri bahwa NDP HMI terancam jatuh dan terancam anomalis, kenapa? alasannya ketika
membahas persoalan gender mainstriming yaitu
konsep masa depan HMI, sedangkan dalam hal ini HMI tidak mempunyai referensi
dan tradisi intelektual HMI lumpuh total sehingga menurutnya NDP sudah saatnya
harus di revisi.
Pernyataan
Sabri ini menimbulkan kontra-paradigma dari teman-teman peserta Advance Training (LK 3) dari HMI cabang
Ciputat. Pembahasan Indonesia hari ini sebenarnya sudah di level
postmodernitas, islam jilid 2, dan Indonesia jilid 2 bukan lagi modernitas,
islam, dan Indonesia saja. Anggapan pluralis yang mengatakan bahwa semua agama
sama adalah ahistoris. Plurality tidak sama dengan pluralisme karena pluralisme
mengandung dua arti yakni pandangan yang sama, paham kebinekaan dan
kemajemukan, sedangkan plurality merupakan given
yang artinya fakta kebinekaan. Sudah saatnya HMI kembali ke pluralisme.
Rolland
Bartes, dalam bukunya mengatakan bahwa Sesutu yang bermitos itu sebenarnya dia
adalah logos, dari logos ini kemudian menjadi idiologo dan kemudian menjadi
epistemologos. Kata logos di artikan sebagai Yesus dalam ajaran agama protestan
dan Nabi Isa a.s dalam ajaran agama islam. Sebenarnya ketika ditelusuri bahwa
kata Immanuel itu adalah nama lain dari Yesus dalam ajaran agama protestan, Imman artinya penampakan, cerminan, atau
tindakan, sedangkan el artinya Tuhan.
Jadi kata Immanuel artinya penampakan atau manisfestasi Tuhan, dengan kata lain
bahwa Immanuel artinya penampakan yesus. Berbicara penampakan kita harus
membedakan antara penampakan dan Tuhan dalam arti yang sebenarnya. Yesus adalah
penampakan atau manisfestasi dari Tuhan, berarti Yesus bisa dibedakan dengan
Tuhan. Ketika narasinya bahwa Yesus berbeda dengan Tuhan berarti Yesus bukan
Tuhan, karena Yesus adalah ciptaan bukan pencipta. Ketika Yesus itu adalah
ciptaan maka Yesus pun mempunyai keterbatasan, sama dengan kita sebagai manusia
pada umumnya.
Pancasila
bukan idiologi, tetapi Pancasila adalah Dasar negara. Idiologi merupakan narasi
kekuasaan. Pembahasan Pancasila banyak dihubungan dengan konsepsi negara
kebangsaan. Negara itu sendiri dibagi dalam tiga bagian besar yakni pemerintah,
rakyat, dan teritorial. Diskusi tentang agama nusantara banyak yang ahistoris
karena referensi pembuktian agama secara fisik tidak dapat dibuktikan.
Memahami
gagasan Islam Nusantara, secara sederhana adalah ajaran-ajaran Islam yang
dikontekstualkan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip budaya dan akar tradisi
yang ada di Nusantara. Islam yang dibawa dan digagas bukanlah Islam yang
berdasarkan pada ajaran Islam yang berkembang di Jazirah Arab, tetapi Islam
yang berdasarkan pada kearifan lokal (local wisdom) pada suatu daerah.
Jika Islam berdasarkan pada nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai tradisi,
maka Islam akan di terima oleh masyarakat, dan akan dikenal sebagai Islam yang
ramah dan menghargai pengetahuan lokal.
Islam
Nusantara adalah sebagai hasil ijma dan ijtihad para
ulama Nusantara dalam melakukan istinbath terhadap al-muktasab
min adillatiha-tafshiliyah. Islam Nusantara adalah idrakul hukmi
min dalilihi ala sabili-rujhan. Islam Nusantara adalah Islam sinkretik (penyesuaian
antara aliran-aliran) yang merupakan gabungan dari nilai Islam teologis dengan
nilai-nilai tradisi lokal (non-teologis), budaya dan adat istiadat di
tanah air.
Dari uraian
narasi materi diatas, penulis memahmi bahwa masih banyak sejarah kebangsaan
Indonesia yang masi kabur bahkan hilang. Apalagi perkembangan zaman sekarang
semuanya butuh pembuktian secara ilmiah, tidak ilmiah berarti Sesutu yang salah
bagi hal layak (umum). Banyak agama nusanta yang mempunyai kitab-kitabnya
sendiri namun tidak dijadikan sebagai agama nasional. Sementara agama yang ada
di Indonesia adalah semuanya agama inpor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar