Senin, 21 Mei 2018

Diskursus Pemikiran Muslim Nusantara





Oleh Ovan Adohar

Dr. M. Sabri AR menyampaikan materi diskusi dalam forum Advance Training (LK 3) HMI Badko Sulselbar pada hari minggu tanggal 06 Mei 2018, Mengawali pembahasan materi Sabri mebedakan pertemuan dan perjuampaan. Menurutnya, pertemuan merupakan personal fisik sedangkan perjumpaan merupakan konstruksi makna. Cara berpikir HMI harus di arahkan kepada mind-set bukan lagi mind-sight.  Materi diskusi ini Sabri menjelaskan teori Max Weber seorang sosiolog jerman mengatakan “untuk sebuah perubahan sosial tidak perlu kelompok besar”. Pada abad ke 19 M, Weber dalam pemikirannya yang dikenal dengan omni preset yang artinya Tuhan maha hadir menimbulkan banyak pengaruh dari dunia barat karena menyangkut protestan etic yang berarti kesadaran nilai.
Pada abad ke 19 M, Max Weber membagi tiga konsep kehidupan manusia di eropa yaitu modernitas, protestan etic, dan eropa. Selanjutnya kita kaitkan dengan Indonesia pada tahun 1972 M yaitu modernitas, islam, dan Indonesia. Menurut Sabri, dalam memahami Q.S. Arrad: 11, bahwa yang menjadi pelaku perubahan adalah Tuhan dan objek perubahan adalah ummat. sedangkan terminology anfusihim adalah kepribadian yang akan merubah. Kata anfusihim hanya terdapat dalam beberapa suku kata dalam Al-qu’an yaitu Akram, Iqro’ yang artinya baca, orang membaca terdapat citra akuistik. Selanjutnya menurut Sabri bahwa NDP HMI terancam jatuh dan  terancam anomalis, kenapa? alasannya ketika membahas persoalan gender mainstriming yaitu konsep masa depan HMI, sedangkan dalam hal ini HMI tidak mempunyai referensi dan tradisi intelektual HMI lumpuh total sehingga menurutnya NDP sudah saatnya harus di revisi.
Pernyataan Sabri ini menimbulkan kontra-paradigma dari teman-teman peserta Advance Training (LK 3) dari HMI cabang Ciputat. Pembahasan Indonesia hari ini sebenarnya sudah di level postmodernitas, islam jilid 2, dan Indonesia jilid 2 bukan lagi modernitas, islam, dan Indonesia saja. Anggapan pluralis yang mengatakan bahwa semua agama sama adalah ahistoris. Plurality tidak sama dengan pluralisme karena pluralisme mengandung dua arti yakni pandangan yang sama, paham kebinekaan dan kemajemukan, sedangkan plurality merupakan given yang artinya fakta kebinekaan. Sudah saatnya HMI kembali ke pluralisme.
Rolland Bartes, dalam bukunya mengatakan bahwa Sesutu yang bermitos itu sebenarnya dia adalah logos, dari logos ini kemudian menjadi idiologo dan kemudian menjadi epistemologos. Kata logos di artikan sebagai Yesus dalam ajaran agama protestan dan Nabi Isa a.s dalam ajaran agama islam. Sebenarnya ketika ditelusuri bahwa kata Immanuel itu adalah nama lain dari Yesus dalam ajaran agama protestan, Imman artinya penampakan, cerminan, atau tindakan, sedangkan el artinya Tuhan. Jadi kata Immanuel artinya penampakan atau manisfestasi Tuhan, dengan kata lain bahwa Immanuel artinya penampakan yesus. Berbicara penampakan kita harus membedakan antara penampakan dan Tuhan dalam arti yang sebenarnya. Yesus adalah penampakan atau manisfestasi dari Tuhan, berarti Yesus bisa dibedakan dengan Tuhan. Ketika narasinya bahwa Yesus berbeda dengan Tuhan berarti Yesus bukan Tuhan, karena Yesus adalah ciptaan bukan pencipta. Ketika Yesus itu adalah ciptaan maka Yesus pun mempunyai keterbatasan, sama dengan kita sebagai manusia pada umumnya.
Pancasila bukan idiologi, tetapi Pancasila adalah Dasar negara. Idiologi merupakan narasi kekuasaan. Pembahasan Pancasila banyak dihubungan dengan konsepsi negara kebangsaan. Negara itu sendiri dibagi dalam tiga bagian besar yakni pemerintah, rakyat, dan teritorial. Diskusi tentang agama nusantara banyak yang ahistoris karena referensi pembuktian agama secara fisik tidak dapat dibuktikan.
Memahami gagasan Islam Nusantara, secara sederhana adalah ajaran-ajaran Islam yang dikontekstualkan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip budaya dan akar tradisi yang ada di Nusantara. Islam yang dibawa dan digagas bukanlah Islam yang berdasarkan pada ajaran Islam yang berkembang di Jazirah Arab, tetapi Islam yang berdasarkan pada kearifan lokal (local wisdom) pada suatu daerah. Jika Islam berdasarkan pada nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai tradisi, maka Islam akan di terima oleh masyarakat, dan akan dikenal sebagai Islam yang ramah dan menghargai pengetahuan lokal.
Islam Nusantara adalah sebagai hasil ijma dan ijtihad para ulama Nusantara dalam melakukan istinbath terhadap al-muktasab min adillatiha-tafshiliyah. Islam Nusantara adalah idrakul hukmi min dalilihi ala sabili-rujhan. Islam Nusantara adalah Islam sinkretik (penyesuaian antara aliran-aliran) yang merupakan gabungan dari nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal (non-teologis), budaya dan adat istiadat di tanah air.
Dari uraian narasi materi diatas, penulis memahmi bahwa masih banyak sejarah kebangsaan Indonesia yang masi kabur bahkan hilang. Apalagi perkembangan zaman sekarang semuanya butuh pembuktian secara ilmiah, tidak ilmiah berarti Sesutu yang salah bagi hal layak (umum). Banyak agama nusanta yang mempunyai kitab-kitabnya sendiri namun tidak dijadikan sebagai agama nasional. Sementara agama yang ada di Indonesia adalah semuanya agama inpor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar