Oleh Ovan Adohar
Agussalim Harimurti mengatakan “untuk memahami NKRI haruslah kita
memamahi ilmu matematika”. Menurut Agussalim bahwa matematika merupakan ilmu
pasti. Sebagai orang yang latar belakang pendidikan matematika, penulis merasa
terganggu dengan pendefinisian tersebut. Menurut penulis matematika bukan ilmu
pasti melainkan berpikir rasional, konsisten, dan jujur. Berangkat dari
kekeliruan pendefinisian pemateri tersebut sehingga penulis membuka kembali
hasil tulisan penulis pada tahun 2017 lalu yang berjudul “Matematika
Kebangsaan”. Dalam tulisan itu penulis mengawali dengan mengutip artikel tulisan
Emma Ainun Najib (Cak Nun) yang berjudul “Matematika Nan Suci” Cak
Nun mengatakan bahwa 6x6 = 36. Selalu konsisten dan istiqamah. 6x6 = 36 di
siang maupun malam, di musim kemarau maupun penghujan, dalam keadaan aman
maupun pas ada gempa besar dan gunung meletus. 6x6 = 36 ketika sehat maupun
sakit, pas bokek atau punya duit, bahagia atau sengsara, bangun maupun tidur.
6x6 = 36 meskipun ditilang Polisi, ditembak Tentara, ditimpa Perppu, kena
angket atau tidak. Kalau ada penghitungan suara 36 menjadi 72, yang salah adalah
menipulatornya, sedangkan 6x6 = 36 tidak bisa diubah. Nanti kalau ada gunung
yang berabad-abad dianggap “mati” tiba-tiba batuk mengeluarkan asap, tetap 6x6
= 36. Kalau ada 18 titik dan area di sepanjang Kepulauan Nusantara merangkai
jadi satuan kekuatan, 6x6 = 36. Mau disuap, di-nego, di-wani piro, digayusi
atau dinovantoi, tetap saja 6x6 = 36. Kiamat akan
datang, shughro maupun kubro, kecil maupun besar, parsial maupun
total, 3 hari 3 malam atau 40 hari 40 malam atau berapa lama pun transmigrasi
dari bumi ke alam Barzakh, tetap 6x6 = 36. Sungguh 6x6 tidak mungkin tidak = 36
sepanjang saya hidup, lanjut Cak Nun dalam tulisannya.
Dari tulisan Cak Nun di atas, penulis menyimpulkan
bahwa matematika merupakan berpikir rasional, konsisten, dan jujur. Penulis
juga melihat bahwa ada nilai-nilai luhur dalam Matematika yang tidak disadari
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks ke-Indonesia-an. Dalam
membangun bangsa Indoesia yang majemuk, matematika merupakan sebuah keharusan
yang harus dipelajari oleh generasi. Praktek-praktek pejabat negara kian
menjadi, hampir setiap hari kita mendengarkan berita baik miring di media cetak
maupun online tentang korupsi yang merajalela, pencurian motor dimana-mana,
perselingkuhan pejabat, tawuran dimana-mana, isu sara dikobarkan, dan lain
sebagainya. Hal ini menjadi indikasi bahwa kurangnya stacholder dalam memahami
matematika. matematika mengajarkan tentang kejujuran, istiqomah, ketelitian,
dan keselarasan. Orang yang memahami matematika secara otomatis imannya kuat,
sebaliknya orang yang imanya kuat belum tentu memahami matematika. matematika
diibaratkan orang yang sedang melakukan sholat, orang yang sedang sholat tidak
mungkin korupsi, mencuri motor, selingkuh, dan lain-lain. Oleh sebab itu,
supaya tidak terjadinya kekacauan bangsa dan negara ini, memahami matematika
dalam konteks kebangsaan adalah fardu ain.
Kritikan penulis terhadap pemateri memang
pada dasarnya bukan hal yang substansial dari tema diskusi, tetapi perlu
dipahami bahwa argumentasi yang kita anggap lelucon atau tidak berarti justru
mengakibatkan dampak yang besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Tujuan
kita untuk meluruskan sejarah (ilmu matematika) malah terbalik dan berdampak
buruk bahkan sesat dalam dinamika ilmu pengetahuan khususnya perkembangan ilmu
matematika itu sendiri. Matematika itu bukan ilmu pasti karena seiring
perkembangan zaman yang menuntut pendefinian, operasi, aksiomatik, dan teorema
dalam matematika itu selalu mengalami perubahan dan pengembangan bahkan pengguguran
teori atau rumus-rumus dalam matematika.
NKRI
didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist sehingga penulis menegaskan bahwa jangan
berbicara NKRI kalau tidak kembali pada Al-Qur’an dan Hadist. Bangsa Indonesia
ini adalah bangsa yang mengangkat harkat dan martabat bangsanya dan menjujnjung
tinggi nilai demokrasi. Pancasila pada hakikatnya bukanla suatu tujuan
melainkan suatu sarana/alat untuk mencapai tujuan itu, yang sudah jelas
tercantum dalam preambule tersebut, sebagai berikut: “Melindungi segenab bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaa, kedamaian abadi dan keadilan
sosial.” Demokrasi pancasila pada lembaga-lembaga-lembaga
konstitusional di tingkat pusat menurut UUD 1945, harus mengikuti
prinsip-prinsip yang termuat dalam UUD 1945 atau yanng melatarbelakangi UUD1945
tersebut di sampingnya mengikuti prinsip-prinsip sistem demokrasi pancasila
pada umumnya.
Diskursus
demokrasi di Indonesia tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah
yang demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan
dilakukan guna memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha
untuk memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut
misalnya dapat dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua
zaman pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman
pemerintahan Soekarno dikenal yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu
berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan
adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan
yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan
Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang
membelenggu kebebasan politik warganya.
Dipasungnya
demokrasi di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia
berusaha melakukan reformasi sistem politik di Indonesia pada tahun 1997.
Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil
menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian
tersebut, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sebagai dasar
untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun, hingga hampir
sepuluh tahun perubahan politik pasca reformasi 1997-1998 di Indonesia,
transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan
sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel. Demokrasi
yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist hanya menghasilkan
Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan
golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tulisan ini
berusaha menguraikan lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju konsolidasi
demokrasi di Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena masih
mencerminkan suatu pragmatisme politik.
Kapan
dihancurkan NKRI oleh Zionis? Pertanyaan ini menguras tenaga untuk menggali
kembali referensi kebangsaan, NKRI di hancurkan oleh zionis pada tanggal 27
Desember 1994. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini,
penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak
hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa
perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Dalam
implementasi sila Pancasila, penulis mencoba menarik benang merah bahwa lembaga
tertinggi negara dalam hal ini MPR hampir kehingan marwah kelembagaan
dikarenakan rancuhnya sistem Pancasila dalam konstitusi negara. Untuk
menciptakan negara harmoni maka hubungan Manusia dan Allah, dan hubungan
manusia dan manusia tetap kita jaga, karena semua itu merupakan energi dan
spirit NKRI. Bangsa yang mulia adalah bangsa yang beragama, negara yang baik
adalah negara yang beragama. Negara harus melibatkan Tuhan dalam kedaulatan
NKRI. Kemerdekaan direbut dari zionis bukan saja atas dasar usaha bambu runcing
tapi atas berkat Tuhan yang Maha Esa. Kemerdekaan Indonesia merupakan
sunnatullah yang tidak bisa di hindari oleh zionis. Sunnatullah adalah
kebenaran ilahiah atas dasar keyakinan, dan akhirnya menjadi norma yang
membentuk nilai-nilai spiritualis dan jati diri NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar