Senin, 21 Mei 2018

Diskursus Teori Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Model Demokrasi Pancasila di Indonesia






                                                  Oleh Ovan Adohar


Agussalim Harimurti mengatakan “untuk memahami NKRI haruslah kita memamahi ilmu matematika”. Menurut Agussalim bahwa matematika merupakan ilmu pasti. Sebagai orang yang latar belakang pendidikan matematika, penulis merasa terganggu dengan pendefinisian tersebut. Menurut penulis matematika bukan ilmu pasti melainkan berpikir rasional, konsisten, dan jujur. Berangkat dari kekeliruan pendefinisian pemateri tersebut sehingga penulis membuka kembali hasil tulisan penulis pada tahun 2017 lalu yang berjudul “Matematika Kebangsaan”. Dalam tulisan itu penulis mengawali dengan mengutip artikel tulisan Emma Ainun Najib (Cak Nun) yang berjudul “Matematika Nan Suci” Cak Nun mengatakan bahwa 6x6 = 36. Selalu konsisten dan istiqamah. 6x6 = 36 di siang maupun malam, di musim kemarau maupun penghujan, dalam keadaan aman maupun pas ada gempa besar dan gunung meletus. 6x6 = 36 ketika sehat maupun sakit, pas bokek atau punya duit, bahagia atau sengsara, bangun maupun tidur. 6x6 = 36 meskipun ditilang Polisi, ditembak Tentara, ditimpa Perppu, kena angket atau tidak. Kalau ada penghitungan suara 36 menjadi 72, yang salah adalah menipulatornya, sedangkan 6x6 = 36 tidak bisa diubah. Nanti kalau ada gunung yang berabad-abad dianggap “mati” tiba-tiba batuk mengeluarkan asap, tetap 6x6 = 36. Kalau ada 18 titik dan area di sepanjang Kepulauan Nusantara merangkai jadi satuan kekuatan, 6x6 = 36. Mau disuap, di-nego, di-wani piro, digayusi atau dinovantoi, tetap saja 6x6 = 36. Kiamat akan datang, shughro maupun kubro, kecil maupun besar, parsial maupun total, 3 hari 3 malam atau 40 hari 40 malam atau berapa lama pun transmigrasi dari bumi ke alam Barzakh, tetap 6x6 = 36. Sungguh 6x6 tidak mungkin tidak = 36 sepanjang saya hidup, lanjut Cak Nun dalam tulisannya.
Dari tulisan Cak Nun di atas, penulis menyimpulkan bahwa matematika merupakan berpikir rasional, konsisten, dan jujur. Penulis juga melihat bahwa ada nilai-nilai luhur dalam Matematika yang tidak disadari dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks ke-Indonesia-an. Dalam membangun bangsa Indoesia yang majemuk, matematika merupakan sebuah keharusan yang harus dipelajari oleh generasi. Praktek-praktek pejabat negara kian menjadi, hampir setiap hari kita mendengarkan berita baik miring di media cetak maupun online tentang korupsi yang merajalela, pencurian motor dimana-mana, perselingkuhan pejabat, tawuran dimana-mana, isu sara dikobarkan, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi indikasi bahwa kurangnya stacholder dalam memahami matematika. matematika mengajarkan tentang kejujuran, istiqomah, ketelitian, dan keselarasan. Orang yang memahami matematika secara otomatis imannya kuat, sebaliknya orang yang imanya kuat belum tentu memahami matematika. matematika diibaratkan orang yang sedang melakukan sholat, orang yang sedang sholat tidak mungkin korupsi, mencuri motor, selingkuh, dan lain-lain. Oleh sebab itu, supaya tidak terjadinya kekacauan bangsa dan negara ini, memahami matematika dalam konteks kebangsaan adalah fardu ain.
Kritikan penulis terhadap pemateri memang pada dasarnya bukan hal yang substansial dari tema diskusi, tetapi perlu dipahami bahwa argumentasi yang kita anggap lelucon atau tidak berarti justru mengakibatkan dampak yang besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Tujuan kita untuk meluruskan sejarah (ilmu matematika) malah terbalik dan berdampak buruk bahkan sesat dalam dinamika ilmu pengetahuan khususnya perkembangan ilmu matematika itu sendiri. Matematika itu bukan ilmu pasti karena seiring perkembangan zaman yang menuntut pendefinian, operasi, aksiomatik, dan teorema dalam matematika itu selalu mengalami perubahan dan pengembangan bahkan pengguguran teori atau rumus-rumus dalam matematika.
NKRI didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadist sehingga penulis menegaskan bahwa jangan berbicara NKRI kalau tidak kembali pada Al-Qur’an dan Hadist. Bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang mengangkat harkat dan martabat bangsanya dan menjujnjung tinggi nilai demokrasi. Pancasila pada hakikatnya bukanla suatu tujuan melainkan suatu sarana/alat untuk mencapai tujuan itu, yang sudah jelas tercantum dalam preambule tersebut, sebagai berikut: “Melindungi segenab bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaa, kedamaian abadi dan keadilan sosial.”  Demokrasi pancasila pada lembaga-lembaga-lembaga konstitusional di tingkat pusat menurut UUD 1945, harus mengikuti prinsip-prinsip yang termuat dalam UUD 1945 atau yanng melatarbelakangi UUD1945 tersebut di sampingnya mengikuti prinsip-prinsip sistem demokrasi pancasila pada umumnya.
Diskursus demokrasi di Indonesia tak dapat dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya. Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memenuhi tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila. Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik warganya.
Dipasungnya demokrasi di dua zaman pemerintahan tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem politik di Indonesia pada tahun 1997. Reformasi yang diperjuangkan oleh berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif, efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah Olle Tornquist hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Tulisan ini berusaha menguraikan lebih lanjut bagaimana proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia belum menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu pragmatisme politik.
Kapan dihancurkan NKRI oleh Zionis? Pertanyaan ini menguras tenaga untuk menggali kembali referensi kebangsaan, NKRI di hancurkan oleh zionis pada tanggal 27 Desember 1994. Amandemen UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini, penghapusan dwi fungsi ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak hasil positif lain. Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Dalam implementasi sila Pancasila, penulis mencoba menarik benang merah bahwa lembaga tertinggi negara dalam hal ini MPR hampir kehingan marwah kelembagaan dikarenakan rancuhnya sistem Pancasila dalam konstitusi negara. Untuk menciptakan negara harmoni maka hubungan Manusia dan Allah, dan hubungan manusia dan manusia tetap kita jaga, karena semua itu merupakan energi dan spirit NKRI. Bangsa yang mulia adalah bangsa yang beragama, negara yang baik adalah negara yang beragama. Negara harus melibatkan Tuhan dalam kedaulatan NKRI. Kemerdekaan direbut dari zionis bukan saja atas dasar usaha bambu runcing tapi atas berkat Tuhan yang Maha Esa. Kemerdekaan Indonesia merupakan sunnatullah yang tidak bisa di hindari oleh zionis. Sunnatullah adalah kebenaran ilahiah atas dasar keyakinan, dan akhirnya menjadi norma yang membentuk nilai-nilai spiritualis dan jati diri NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar