Oleh
Ovan Adohar
Prinsip terciptanya
masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta para
pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah
sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme
dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah
(beradab). Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah
mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural,
beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya
adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan
sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras,
dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang
beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani. Konsep Masyarakat madani
juga terdapat pada tamadhun
(masyarakat yang beradaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun
(2001) dalam konsep Al Madinah al
Fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama)
Masyarakat sipil (civil society) ini banyak dikemukakan
oleh Mansour fakih (2001) untuk menyebutkan prasyarat masyarakat dan Negara
dalam rangka proses penciptaan dunia secara mendasar baru dan lebih baik.
Begitu juga Menurut Thomas Paine bahwa arti masyarakat madani adalah suatu
ruang tempat warga dapat mengembangkan kepribadiannya dan memberi peluang bagi
pemuasan kepentingan secara bebas dan tanpa paksaan (Azra,1999). Masyarakat
madani merupakan masyarakat yang berperadaban (bermadaniyah) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan (Madjid,
1999).
Pengindonesiaan antara Masyarakat Madani dan Civil society sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya
dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim
modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan antara civil society dan masyarakat madani
adalah civil society merupakan buah
modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan
masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena
meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan
asuhan petunjuk Tuhan.
Posisi Umat Islam saat
ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan
global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan
teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia,
jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah,
juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku
di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga
belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum
mencerminkan akhlak Islam.
Modernisasi ditandai oleh
kreativitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidupnya di dunia
ini. Penyebutan tahap perkembangan sejarah manusia yang sedang berlangsung
sekarang ini sebagai Zaman Modern bukannya tanpa masalah. Masalah itu timbul
karena inti dan hakikat zaman sekarang bukanlah kebaruannya (modern berarti
baru), seolah-olah sesudah tahap ini tidak ada lagi tahap yang berarti berikutnya.
Wujud keterkaitan antara segi teknologis diacu sebagai dorongan besar pertama
umat manusia memasuki zaman sekarang ini, yaitu Revolusi Industri (teknologis)
di Inggris dan Revolusi Perancis (sosial-politik) di Perancis.
Dalam pandangan
penulis, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat
pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak
dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah
yang abadi dalam pandangan Al-Quran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan
ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat
Al-Hujurat (49) ayat 13. Kedua, adalah
tingginya sikap toleransi (tasamuh).
Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Ketiga, adalah tegaknya prinsip
demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah.
Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah,
penulis memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja,
tidak lebih. Mengingat di dalam Al-Quran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat
As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Dalam jurnal yang ditulis
oleh Muhammad Soim (2015), ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang
terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu: 1) Masyarakat Saba’,
yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman, dan 2) Masyarakat Madinah setelah
terjadi traktat, perjanjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam
dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus
dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat
untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan
Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin
dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan
bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama
yang dianutnya.
Dalam
komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi
dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan
dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan
kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa
semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada
masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat
tertentu, akrena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya
dalam masyarakat. Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan “Dan Allah melebihkan
sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang
yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada
budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka
Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”.
Dalam
ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu
hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam
masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan
melaksanakan kedua hubungan itu, hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Manusia adalah makhluk yang menjalankan amanah dari
Allah SWT. Menurut Mulla Sadra, wujud manusia adalah amanah yang tersimpan di
pundaknya yang akan menemaninya di dalam kebersamaannya dengan orang lain, juga
yang akan mengantarkannya menuju hari akhir dan diwaktu perjumpaannya dengan
Allah SWT (Al-Mandary, 2003).
Menurut
Arief Budiman (1990) ada dua orientasi pemerintahan yang baik dalam rangka
menuju kepada masyarakat madani adalah pertama,
Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yaitu
mengacu pada demokratisasi dengan elemen: legitimasi, akuntabilitas, otonomi,
devolusi (pendelegasian wewenang) kekuasaan kepada daerah, dan adanya mekanisme
kontrol oleh masyarakat. Kedua, Pemerintahan
yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya
pencapaian tujuan nasional.
Menurut
Nurcholish Majid (2000) Masyarakat Islam Indonesia pada umumnya ketika memahami
persoalan-persoalan teologis lebih menekankan kepada aspek pragmatis
sebagaimana yang tercantum dalam teks al-Qur’an, al-Hadits, serta kitab-kitab
klasik karya ulama madzhab (tekstual), dan mengkesampingkan pemahaman
kontekstual.
Masyarakat madani atau
civil society dapat diartikan sebagai suatu corak kehidupan masyarakat yang
terorganisir, mempunyai sifat kesukarelaan, kemandirian, namun mempunyai
kesadaran hukum yang tinggi dan Masyarakat Indonesia mempunyai karakteristik
yang berbeda dengan negara lainnya serta munculnya permasalahan yang bisa
menjadi hambatan sekaligus tantangan dalam mewujudkan masyarakat madani model
Indonesia. Ahmad Wahib dalam catatan hariannya ,mengatakan bahwa kaum
intelektual Indonesia memikul tugas besar dalam pembangunan nasional dan
pembaharuan masyarakat (Effendi, 1981).
Pernyataan
di atas didukung oleh Komaruddin Hidayat (2012) yang mengatakan bahwa dalam
membangun bangsa yang beradab dalam kemajuan tekhnologi setidaknya ada tiga hal
yang perlu di perhatikan, pertama,
ajaran dasar islam memiliki keluasan dan keluwesan sehingga mudah beradaptasi
dengan kultur local tanpa kehingan substansi, terutama tauhid dan
prinsip-prinsip ritualnya. Kedua,
ketika Islam keluar dan berkembang dari tempat kelahirannya, Mekkah-Madinah,
mau tidak mau harus terjadi proses adaptasi, akulturasi, dan kreasi kultural
agar mudah diterima, bahkan terjadi pengayaan kultural dan intelektual yang
tidak terbayangkan sebelumnya. Ketiga,
perkembangan islam akan mudah diteriman oleh masyarakat yang semakin plural dan
memberikan pencerahan moral, spiritual, dan intelektual, ketika tampil tidak
dengan jargon dan kendaraan politis-idiologis. Begitu juga yang dikatakan oleh
Nurcholish Majid (2000) Masyarakat madani yang sering diterjemahkan dengan civil society atau independent society adalah bentuk masyarakat yang dicita-citakan
saat ini untuk menuju kehidupan bernegara yang lebih demokratis.
Dalam
kemajuan Tekhnologi sebaiknya media sosial digunakan untuk kemajuan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Untuk
meciptakan suasana masyarakat yang kondusif maka sebaiknya kita berlaku religious,
toleran, demokratis. Dalam kemajuan Tekhnologi sebaiknya media sosial digunakan
untuk kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam bermasyarakat tentunya
kita wajib bersikap demokratis, sikap toleran, saling pengertian, berakhlak
tinggi, beriman dan bertaqwa, berwawasan global.
Daftar
Pustaka
Al- Mandary, Mustamin.
2003. Menuju Kesempurnaan; persepsi dalam pemikiran Mulla Sadra. Safinah.
Tembagapura.
Azra, Azyumardi.
1999. Menuju Masyarakat Madani. Remaja Rosdakarya. Bandung
Budiman,
Arief.1990. State And Civil Society. Clayton:
Monash Paper Southeast Asi No.22
Effendi, Djohan &
Ismed Natsir. Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib. Pustaka
LP3ES. Jakarta.
Fakih, Mansour, 2001,
Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi. Insist, Yogyakarta.
Hidayat, Komaruddin.
2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Noura Books. Jakarta
Ibnu Khaldun, 2001.
Mukaddimah Ibnu Khaldun. Pustaka Firdaus. Jakarta
Wahib,
Abdurrahman. 2006. Sang Pujangga; 70 tahun polemik kebudayaan menyongsong satu
abad S. Takdir Alisjahbana. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Majid,
Nurcholish. 1999.”Azas-Azas Pluralisme dan Toleransi dalam masyarakat madani “.
Makalah seminar nasional, “Masyarakat Madani dalam Prespektif Agama dan
Politik”. Oleh IAIN Jakarta, 22 februari 1999.
Majid, Nurcholish,
2000. Masyarakat religious, Paramadina, Jakarta
Majid, Nurcholish,
2000, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta
Majid,
Nurcholish, 2000. Kehampaan Spiritual masyarakat Moderen, Media Cita.Jakarta.
Soim, Muhammad. 2015. Miniatur
Masyarakat Madani; Perspektif Pengembangan Masyarakat Islam Jurnal Risalah,
Vol. 26, No. 1, Maret 2015: 23-32.