Senin, 21 Mei 2018

DIALEKTIKA MASYARAKAT MADANI DAN CIVIL SOCIETY DITENGAH MODERNISASI DAN KEMAJUAN TEKHNOLOGI





Oleh Ovan Adohar

Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab). Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani. Konsep Masyarakat madani juga terdapat pada tamadhun (masyarakat yang beradaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun (2001) dalam konsep Al Madinah al Fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama)
Masyarakat sipil (civil society) ini banyak dikemukakan oleh Mansour fakih (2001) untuk menyebutkan prasyarat masyarakat dan Negara dalam rangka proses penciptaan dunia secara mendasar baru dan lebih baik. Begitu juga Menurut Thomas Paine bahwa arti masyarakat madani adalah suatu ruang tempat warga dapat mengembangkan kepribadiannya dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingan secara bebas dan tanpa paksaan (Azra,1999). Masyarakat madani merupakan masyarakat yang berperadaban (bermadaniyah) karena tunduk dan patuh (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din) yang dinyatakan dalam supremasi hukum dan peraturan (Madjid, 1999). 
 Pengindonesiaan antara Masyarakat Madani dan Civil society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan.
Posisi Umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.
Modernisasi ditandai oleh kreativitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidupnya di dunia ini. Penyebutan tahap perkembangan sejarah manusia yang sedang berlangsung sekarang ini sebagai Zaman Modern bukannya tanpa masalah. Masalah itu timbul karena inti dan hakikat zaman sekarang bukanlah kebaruannya (modern berarti baru), seolah-olah sesudah tahap ini tidak ada lagi tahap yang berarti berikutnya. Wujud keterkaitan antara segi teknologis diacu sebagai dorongan besar pertama umat manusia memasuki zaman sekarang ini, yaitu Revolusi Industri (teknologis) di Inggris dan Revolusi Perancis (sosial-politik) di Perancis.
 Dalam pandangan penulis, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Al-Quran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al-Hujurat (49) ayat 13.  Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, penulis memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Al-Quran juga terdapat nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Dalam jurnal yang ditulis oleh Muhammad Soim (2015), ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu: 1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman, dan 2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. 
Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, akrena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”.
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hubungan itu, hidup manusia akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak. Manusia adalah makhluk yang menjalankan amanah dari Allah SWT. Menurut Mulla Sadra, wujud manusia adalah amanah yang tersimpan di pundaknya yang akan menemaninya di dalam kebersamaannya dengan orang lain, juga yang akan mengantarkannya menuju hari akhir dan diwaktu perjumpaannya dengan Allah SWT (Al-Mandary, 2003).
Menurut Arief Budiman (1990) ada dua orientasi pemerintahan yang baik dalam rangka menuju kepada masyarakat madani adalah pertama, Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yaitu mengacu pada demokratisasi dengan elemen: legitimasi, akuntabilitas, otonomi, devolusi (pendelegasian wewenang) kekuasaan kepada daerah, dan adanya mekanisme kontrol oleh masyarakat. Kedua, Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. 
Menurut Nurcholish Majid (2000) Masyarakat Islam Indonesia pada umumnya ketika memahami persoalan-persoalan teologis lebih menekankan kepada aspek pragmatis sebagaimana yang tercantum dalam teks al-Qur’an, al-Hadits, serta kitab-kitab klasik karya ulama madzhab (tekstual), dan mengkesampingkan pemahaman kontekstual.
Masyarakat madani atau civil society dapat diartikan sebagai suatu corak kehidupan masyarakat yang terorganisir, mempunyai sifat kesukarelaan, kemandirian, namun mempunyai kesadaran hukum yang tinggi dan Masyarakat Indonesia mempunyai karakteristik yang berbeda dengan negara lainnya serta munculnya permasalahan yang bisa menjadi hambatan sekaligus tantangan dalam mewujudkan masyarakat madani model Indonesia. Ahmad Wahib dalam catatan hariannya ,mengatakan bahwa kaum intelektual Indonesia memikul tugas besar dalam pembangunan nasional dan pembaharuan masyarakat (Effendi, 1981).
Pernyataan di atas didukung oleh Komaruddin Hidayat (2012) yang mengatakan bahwa dalam membangun bangsa yang beradab dalam kemajuan tekhnologi setidaknya ada tiga hal yang perlu di perhatikan, pertama, ajaran dasar islam memiliki keluasan dan keluwesan sehingga mudah beradaptasi dengan kultur local tanpa kehingan substansi, terutama tauhid dan prinsip-prinsip ritualnya. Kedua, ketika Islam keluar dan berkembang dari tempat kelahirannya, Mekkah-Madinah, mau tidak mau harus terjadi proses adaptasi, akulturasi, dan kreasi kultural agar mudah diterima, bahkan terjadi pengayaan kultural dan intelektual yang tidak terbayangkan sebelumnya. Ketiga, perkembangan islam akan mudah diteriman oleh masyarakat yang semakin plural dan memberikan pencerahan moral, spiritual, dan intelektual, ketika tampil tidak dengan jargon dan kendaraan politis-idiologis. Begitu juga yang dikatakan oleh Nurcholish Majid (2000) Masyarakat madani yang sering diterjemahkan dengan civil society atau independent society adalah bentuk masyarakat yang dicita-citakan saat ini untuk menuju kehidupan bernegara yang lebih demokratis.
Dalam kemajuan Tekhnologi sebaiknya media sosial digunakan untuk kemajuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.  Untuk meciptakan suasana masyarakat yang kondusif maka sebaiknya kita berlaku religious, toleran, demokratis. Dalam kemajuan Tekhnologi sebaiknya media sosial digunakan untuk kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam bermasyarakat tentunya kita wajib bersikap demokratis, sikap toleran, saling pengertian, berakhlak tinggi, beriman dan bertaqwa, berwawasan global.


Daftar Pustaka
Al- Mandary, Mustamin. 2003. Menuju Kesempurnaan; persepsi dalam pemikiran Mulla Sadra. Safinah. Tembagapura.
Azra, Azyumardi. 1999. Menuju Masyarakat Madani. Remaja Rosdakarya. Bandung
Budiman, Arief.1990. State And Civil Society. Clayton: Monash Paper Southeast Asi No.22
Effendi, Djohan & Ismed Natsir. Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib. Pustaka LP3ES. Jakarta.
Fakih, Mansour, 2001, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi. Insist, Yogyakarta.
Hidayat, Komaruddin. 2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Noura Books. Jakarta
Ibnu Khaldun, 2001. Mukaddimah Ibnu Khaldun. Pustaka Firdaus. Jakarta
Wahib, Abdurrahman. 2006. Sang Pujangga; 70 tahun polemik kebudayaan menyongsong satu abad S. Takdir Alisjahbana. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Majid, Nurcholish. 1999.”Azas-Azas Pluralisme dan Toleransi dalam masyarakat madani “. Makalah seminar nasional, “Masyarakat Madani dalam Prespektif Agama dan Politik”. Oleh IAIN Jakarta, 22 februari 1999.
Majid, Nurcholish, 2000. Masyarakat religious, Paramadina, Jakarta
Majid, Nurcholish, 2000, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta
Majid, Nurcholish, 2000. Kehampaan Spiritual masyarakat Moderen, Media Cita.Jakarta.
Soim, Muhammad. 2015. Miniatur Masyarakat Madani; Perspektif Pengembangan Masyarakat Islam Jurnal Risalah, Vol. 26, No. 1, Maret 2015: 23-32.


NDP Sebagai Ideologi Perkaderan HMI





Oleh Ovan Adohar

Harun Sikka Songge mengatakan bahwa perubahan itu diberikan kepada mereka yang berakal, bernafsu, dan mereka yang memiliki organisme yang baik. NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan) yang ada di HMI selama ini dipercaya sebagai ideology. Seperti kita ketahui, ideologi dipahami sebagai cara pandang pada hidup kita masing-masing. Tapi menurut mazhab Kiri Baru bahwa ideology merupakan konsepsi pemikiran yang melahirkan tindakan yang berhadapan dengan realitas. Jadi, ideology haruslah dapat merubah realitas kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan yang terkandung dalam ideology yang dimaksud.
Al-Qur’an adalah konsepsi dari Allah SWT, dan NDP adalah konsepsi dari Cak Nur tentang ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an. Nilai-nilai Islam yang absolute dan universal digabungkan dengan nilai-nilai Indonesia yang plural sehingga terlahirlah NDP. Namun, ada beberapa hal yang membuat NDP menjadi begitu sakral dan tidak mudah dipahami oleh sebagian besar kita. Andito, seorang kader HMI dari Bandung mencoba menyusun metodologi lain dalam memahami NDP. Beliau mengkritik isi NDP yang cenderung developmentalis dan membalikkan metodologi NDP versi Cak Nur yang sosiologis-teologis-filosofis menjadi filosofis-teologis-sosiologis sehingga lebih mudah dipahami dan lebih membumi.
Adapun tulisan yang menjabarkan metodologi NDP versi Andito yang penulis kutip referensinya secara singkat yaitu terdiri dari beberapa aspek. Pertama, aspek Filosofis: Ideology dalam pengertian diatas harus memuat konsep, sikap, dan aksi agar bisa berhadapan dengan realitas. Kedua, aspek Teologis, maksudnya Tuhan itu sendiri, karena sifatnya yang non-materi, selain menjadikanNya bebas dari ketidak-sempurnaan, juga mengakibatkan manusia menjadi susah untuk merasakan dan mengikuti keberadaanNya. Ketiga, Sosiologis, Dalam hal ini, manusia memerlukan unit yang disebut masyarakat untuk mengatur hak dan kewajiban agar proses dialog ini dapat berjalan dengan baik. Penulis tidak telalu mengkaji NDP versi Andito, tetapi sebagai pengantar saja untuk memahami NDP versi Cak Nur yang dibawakan oleh Kakanda Harun.
Tugas pemuda yaitu perubahan dan mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dalam menafsirkan Q.S. Al-Asry tentang waktu. Tuhan bersumpah dan mempertaruhkan diri-Nya (dzat) dengan waktu demi kehadiran manusia, sesungguhnya manusia dalam keadaan rugi. Supaya manusia tidak dalam keadaan merugi maka manusia dituntut untuk konsisten dan menghargai waktu tersebut. Q.S. Al-Asyar dalam kaitanya dengan kader HMI, kader harus menjawab tantangan peradaban dengan suatu karya besar yang disebut karya peradaban. Perkaderan merupakan institusi kesadaran. Dalam setiap diri manusia ada potensi yang ada dalam diri manusia, potensi yang melekat pada dirinya. Potensi inilah yang wajib untuk di implementasikan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Tujuan dari Training di HMI adalah menarik kesadaran manusia.
Secara historis, NDP hadir sebagai tawaran atas kegalauan terhadap kehidupan manusia dan kegalauan tokoh-tokoh islam Indonesia dan kegalauan tokoh pendiri bangsa dalam memhami ke-Islam-an dan Ke-Indonesia-an. Sehingga jangan heran kader HMI dibentuk seperti pendiri bangsa ini. NDP merupakan kerangka berpikir yang mempostulat struktur berpikir kader HMI. NDP merupakan struktur berpikir yang memberikan pilihan terhadap konsepsi surga dan neraka. NDP mulai bab 1 samapi bab 7 merupakan suatu sistem berpikir.
NDP merupakan cara pandang yang melahirkan cara berpikir, kemudian menjadi tindakan yang memprilaku dalam kehidupan, dan menjadi budaya yang akhirnya menjadi peradaban. Indikator keberhasilan HMI adalah seberapa besar karya (buku) yang dimiliki. NDP bukan saja sebagai cara pandang tetapi NDP HMI ditempatkan sebagai idiologi pergerakan. Kader HMI harus menjiwai NDP dalam kehidupannya. Memahami NDP dengan berbagai pendekatan yaitu pendekatan internalisasi (menjiwai NDP), pendekatan eksternalisasi (kesadaran sosial), dan objektivitas (peradaban dan panutan ummat).



Peranan HMI Dalam Menghadapi MEA




Oleh Ovan Adohar

Advance Training (LK 3) merupakan sekolah formal HMI. Advance Training (LK 3) HMI Badko Sulselbar dihadiri oleh ketua Umum PB HMI periode 2010-2012 yaitu Nurfajriansyah, dan juga dihadiri oleh ketua umum KNPI Sulsel, Imran Eka Saputra yang merupakan pengurus PB HMI saat kepengurusan Nurfajriansyah. Dua orang tokoh muda HMI ini menjadi panelis dalam kegiatan LK 3 HMI tersebut yang berlangsung di Hotel Prima Kota Makassar, Senin tanggal 09 Mei 2018. Dalam pemaparannya sebagai narasumber, Fajri dan Imran mengungkapkan problematika kader HMI dalam menjawab tantangan zaman dan problematika kesiapan dirinya dalam menghadapi MEA. Menurut penulis wacana MEA ini sudah lewat karena mulai diterapkannya MEA itu sendiri adalah pada tahun 2015, cuman yang menjadi persoalannya adalah ketidakmampuan kader HMI dalam menafsirkan dan mengejewantahkan perkembangan peradaban kemanusiaan ini.
MEA merupakan suatu program negara membuka sistem pasar bebas. Adapun pembukaan pasar bebas dilakukan di negara-negara Asia dengan tujuan membuka secara luas lapangan pekerjaan dan memperbaiki sektor ekonomi Asia. Pemerintah dalam hal ini membuka sistem investasi secara terbuka di seluruh Indonesia. Kanda Imran mengkritik tentang peran kader HMI, karena kader HMI hari ini tidak mampu membacapeluang dan hambatan. Keinginanan dari kakanda Imran adalah gerakan HMI harus mempunyai gerakan nilai. Gerakan nilai yang dimaksud adalah gerakan yang berperadaban. HMI harus mempunyai terobosan yang jelas, apalagi di era generasi milenial ini.
Salah satu faktor terpenting dibentuknya suatu sistem ekonomi tunggal yang kerap disebut sebagai MEA adalah untuk mempermudah satu negara menjual barang dan jasa ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara. Hal itu dengan semangat pembangunan ekonomi yang lebih baik, khususnya kemajuan ekonomi di negara-negara Asia. Salah satu generasi yang dibutuhkan dalam MEA itu sendiri adalah generasi yang kompotetif dalam berbagai hal, baik itu ekonomi, sosial politik, budaya, dan lain-lain.
Selanjutnya, menurut kakanda Fajrin, dampak dari perubahan sosial harus mempunyai sesuatu yang baru yang mempunyai manfaat yang besar. Berdasarkan hasil riset terbaru dari Organisasi Buruh Dunia (ILO), pembukaan pasar tenaga kerja mendatangkan manfaat yang besar. Pembentukan sistem ekonomi yaitu MEA selain dapat menciptakan jutaan lapangan kerja baru, skema ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan 600 juta orang yang hidup di Asia Tenggara.Namun, di sisi lain Indonesia juga mempunyai tantangan yang tidak boleh dilihat hanya dengan memicingkan mata. Tantangan yang paling besar bagi Indonesia ini adalah dari sisi sumber daya manusia.
Berhubungan dengan MEA, kualitas sumber daya masyarakat Indonesia akan menjadi pertaruhan utama. MEA menjadikan masuknya barang dan jasa-jasa ahli dari negara-negara ASEAN secara lebih besar dan terbuka. Konsekuensinya cukup menggelisahkan Indonesia akan menjadi pemenang atau sebaliknya justru menjadi pecundang.
Kalau kemarin-kemarin kita hanya bersaingan dengan teman SMA, teman kuliah, teman se daerah, teman se negera, tapi dengan diimplementasikannya MEA saingan kita bukan cuma mereka melainkan pemuda-pemuda seluruh ASEAN yang mungkin  mereka lebih siap dari pada kita. Maka dari itu kita mempersiapkan diri setidaknya kita mengasah keahlian dan keterampilan (skilled labor) masing-masing. Lantas bagaimana peran pemuda dalam menghadapi MEA? Sebab pemuda sangat menjanjikan maju tidaknya bangsa Indonesia. Hal tersebut dapat dilakukan, diantaranya: memiliki pemahman, rajin belajar, membangun jaringan, dan tidak phobia pada MEA.
 Apabila peran pemuda tersebut diimplimentasikan dalam kehidupannya dalam menghadapi MEA guna memajukan bangsa Indonesia. maka, Indonesia akan menjadi pemenang, bukan menjadi negara pecundang atau bahasa kasarnya menjadi budak di negaranya sendiri.
Dalam menghadapi perhelatan akbar ini, masing-masing Negara yang tergabung dalam MEA, sepertihalnya Singapure, Thailand dan lainnya telah mempersiapkan diri untuk bergabung dalam komunitas tersebut diantaranya dengan menyiapkan sumber daya manusia yang siap saing dengan Negara lainnya melalui pendidikan bahasanya dan peningkatan kualitas pendidikan untuk mengambil peluang sebesar-besarnya dalam MEA. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Ada 3 hal yang dapat terjadi pada MEA 2015 ini, yaitu:
1.    Bangsa Indonesia maju disegala sektor dan tingkatan masyarakat
2.    Semakin maraknya sistem kapitalis, dimana yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin
3.    Negara Indonesia menjadi sapi perah bagi negara-negara yang lebih berkualitas dan warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di tanah air sendiri hanya bisa menjadi penonton, pengekor dan terkikisnya budaya yang ada di negeri Indonesia
Dalam hal ini, HMI sebagai organisasi yang berazaskan islam juga sebagai organisasi perjuangan dituntut harus mampu memperjuangkan hak- hak kaum mustadh’afin dan terlebih lagi memperjuangkan keadilan dalam era globalisme dan neoliberalisme terutama dalam lingkup ke-Indonesiaan. Di samping itu, sebagai salah satu organisasi mahasiswa yang berfungsi sebagai social control, HMI dituntut mampu mengawal dan membantu pemerintah dalam mempersiapkan tenaga kerja yang berkompetensi dan profesional agar mampu bersaing dalam era globalisasi tersebut khususnya dalam lingkup daerah maupun nasional.


Sejarah Perpecahan HMI MPO dan HMI DIPO





Oleh Ovan Adohar


Mengawali tulisan ini, saya bersukur kepada Allah SWT, bahwa yang menyampaikan materi diskusi ini adalah pelaku sejarah perpecahan HMI MPO dan HMI DIPO, yaitu Aziz Talib. Dalam penyampainya banyak sekali mencerikan pengalaman berorganisasinya, karena latar belakang sebagai aktivis yang selalu turun dijalan untuk melawan tirani kekuasaan Orba. Aziz, menceritakan tentang berdirinya HMI yang didirikan oleh Prof. Lafran Pane pada tanggal 5 Februari 1947 di Yogyakarta, dalam penyampaiannya, Dalam perkembangannya perjalanan sejarah HMI hingga terbentuknya HMI-MPO telah mengalami proses pematangan konsepsi gerakan. Ditingkat internal, tujuan HMI juga telah mengalami perubahan sampai enam kali. Hal ini menunjukkan bahwa HMI MPO senantiasa menyikapi secara kritis dinamika melingkupinya dengan tetap berupaya menegaskan prinsip-prinsip vital gerakannya.
Pemerintahan soeharto pada era orba sangat mengutamakan politik keseragaman dan pemusatan kekuasaan. Oleh karena itu, semua kekuatan sosial dan politik diapaksa untuk mengubah dasarnya dengan Pancasila. Jika menolak dapat berakibat dibubarkan. Tahun 1985 pemerintah mengeluarkan kebijakan UU ormas yang mewajibkan semua ormas memakai asas tunggal Pancasila. Hmi-pun terkena dampaknya. Kongres XVI di kota Padang pada tahun 1986 menjadi saksi pengaruh Negara yang berlebihan untuk memaksakan asas tunggal. MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) Hmi menolak menurut mereka Isalam adalah satu-satunya ideologi yang mereka anut dan menurut pemerintah, berarti gerakan mahasiswa sudah melupakan karakteristik mendasar, yaitu oposan dan tidak pro status.-quo. Hmi akhirnya pecah menjadi dua, Hmi Pancasila menjadi Hmi yang resmi diakui Negara (tahun 1999 Hmi DIPO mengubah asas pancasial menjadi islam) dan Hmi Majelis Penyelamat Organisasi (Hmi MPO) yang tetap kukuh berasas Islam.. Format gerakan HMI mengalami perubahan besar sejak munculnya HMI MPO yang menjadi simbol perlawanan kelompok-kelompok kritis dalam HMI. Banyak yang mengatakan bahwa bahwa HMI MPO merupakan anak haram dari tubuh HMI.
HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba orde baru. Ditengah situasi kehidupan kebangsan dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman warga negara dan diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI MPO hadir sebagai sosok pendekar yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah satu-satunya organisasi Islam yang pertama kali menuntut turunnya Suharto dari kursi kepresidenan. Maka tak heran jika selama kekuasaan orde baru, HMI MPO menjadi organisasi 'bawah tanah' yang berjuang melawan rezim dengan segala resikonya.
Tambahan nama MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di belakang HMI sebenarnya muncul saat menjelang kongres HMI XVI yang diselenggarakan di Padang pada tanggal 24-31 Meret 1986. Menjelang diselenggarakannya kongres HMI XVI di Padang, Sumatera barat, tahun 1986. Mulanya MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI begitu terkooptasi oleh rezim orde baru. Kelompok ini merasa perlu bergerak untuk mengantisipasi intervensi penguasa pada HMI dengan mewajibkan HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya demokrasi di Indonesia.
Untuk menyampaikan aspirasinya, mula-mula forum MPO ini hanya berdialog dengan PB(pengurus besar) HMI. Akan tetapi karena tanggapan PB yang terkesan meremehkan, maka akhirnya MPO melakukan demonstrasi di kantor PB HMI (Jl. Diponegoro 16, Jakarta). Demonstrasi tersebut ditanggapi PB HMI dengan mengundang kekuatan militer untuk menghalau MPO. Beberapa anggota MPO malah ditangkap oleh aparat dengan tuduhan subversif. Akhirnya simpati dari anggota HMI mengalir dan gerakan ini menjadi semakin massif.
Akhirnya dalam forum kongres di Padang tesebut terpecahlah HMI menjadi dua, yaitu HMI yang menerima penerapan asas tunggal (HMI DIPO) dan HMI yang menolak asas tunggal (HMI MPO). Selanjunya kedua HMI ini berjalan sendiri-sendiri. HMI DIPO eksis dengan segala fasilitas negaranya, dan HMI MPO tumbuh menjadi gerakan underground yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan negara. Jama’ah HMI MPO walaupun sedikit namun kompak, mereka yakin bahwa apa yang diperjuangkannya untuk tetap bertahan dan berjuang mempertahankan Islam sebagai azas.Sejarah mencatat, setelah reformasi setelah azas tunggal pancasila dicabut, berbondong-bondonglah ormas-ormas dan orpol-orpol kembali ke azas semula. Tak terkecuali HMI DIPO, akhirnya mereka kembali kepada azas Islam.
Usaha untuk menyatukan kedua HMI bukannya tidak dilakukan. Perbedaan AD/ART dan pola rekruitmen pada awalnya menjadi hambatan terjadinya persatuan 2 Hmi. NDPberbeda dengan Khittah Perjuangan yang dimiliki HMI MPO, NDP lebih menitikberatkan pada wacana Islam kebangsaan yang dipadukan dengan pemikiran teologi pembebasan (liberal). Sedangkan Khittah perjuangan menekankan pada wacana penafsiran islam sebagai pandangan hidup (world of view) yang diselaraskan dengan pemikiran kesadaran keberislaman (teosofi transenden).
Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa perjuangan HMI MPO untuk tetap mempertahankan azas Islam merupakan bentuk konsistensi sebuah gerakan mahasiswa dalam melakukan perlawanan terhadap penindasan negara. HMI MPO berani menanggung resiko perjuangan untuk dikucilkan dan ditekan. Karena keistiqomahan dan keyakinannya maka HMI MPO dicatat sebagai satu-satunya organisasi yang sejak awal berani menolak kebijakan rezim orde baru yang korup. Sebenarnya, masalah yang besar adalah berbeda pandangan tentang islam dan Pancasila ini. Sehingga dalam penjelasannya yang terakhir, Aziz Talib menyampaikan bahwa ada tiga kesepakatan yang dibangun pada saat itu, yakni
1.    Jangan mempertentangkan islam dan Pancasila.
2.    Jangan samakan islam dan Pancasila.
3.    Jangan menganggap salah satunya kecil.

Demokrasi dan Peradaban Indonesia





Oleh Ovan Adohar
Akar historis demokrasi terbagi menjadi beberapa bagian yakni, pertama, demokrasi merupakan konsep pemerintah di Athena pada masa yunani kuno. Kedua, islam dalam pengangkatan khalifah Arrasyidah. Ketiga, eropa pada masa renaisans, dan keempat, para sarjana Indonesia yang kuliahdi eropa.
Pada saat itu yunani kuno belum meletakan dasar-dasar demokrasi. Fitrah dunia yang diciptakan Tuhan menyebabkan dunia diisi oleh populasi dan kondisi bumi yang beraneka ragam. Demokrasi sebagai suatu sistem sosial dan politik adalah sistem yang ditemukan dan dikembangkan untuk meminimalisir dominasi atau superioritas. Demokrasi di tubuh islam dimulai pada saat jenazahnya Rasulullah tiga hari belum dimakamkan, kenapa jenazahnya Rasulullah 3 hari belum dimakamkan? Jawabannya adalah, pertama, Rasulullah tidak menyiapkan penggantinya, kedua, Belum ada yang menggantikann rasulullah sebagai pemimpin, dan ketiga, Lebih kepada kemaslahatan umat.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab). Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani. Konsep Masyarakat madani juga terdapat pada tamadhun (masyarakat yang beradaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun (2001) dalam konsep Al Madinah al Fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama)
Dinamika demokrasi dalam tatanan peradaban Indonesia yang multikultural mengantarkan Indonesia sebagai salah satu negara terbaik dalam implementasi demokrasi. Terbukti dengan jumlah bahasa yang banyak (665 bahasa), jumlah suku yang banyak (300 suku), jumlah pulai yang banyak (17.670, besar dan kecil), presentase keikutsertaaan raja-raja nusantara terhadap NKRI (Javanese 45 %, Sundanese 14 %, Maduranese 7,5 %, Coastal Malays 7,5 %, dll 26 %).
Menurut Wahidin ada tiga teori sosial yaitu melting pot I: Anglo Conformity, melting pot II: Ethnic synthesis, cultural pluralism: mosaic analogy. Dalam pekembangan budaya yang majemuk, maka suatu keharusan bahwa budaya merupakan kekuatan nasional. Modal budaya inilah yang seharusnya digali dan digalang menjadi kekuatan nasional, bukan saja untuk mengokohkan kebudayaan nasional, tetapi lebih penting adalah memberikan tempat yang setara, sejajar, dan adil bagi setiap kebudayaan untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan negara-bangsa.
Berkaitan dengan upaya membagun multikulturalisme di Indonesia, menurut Hutington ada tiga tantangan multikulturalisme dewasa ini yaitu Pertama, hegemoni Barat pada bidang politik, ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan. Hegemoni Barat melalui wacana modernisasi yang disebarluaskan pada negara-negara berkembang bertendensi pada terbentuknya budaya modern yang dibedakan dengan budaya primitif dan barbarian. Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya sendiri tanpa jatuh ke dalam pandangan yang xenopobhia dan etnosentrisme. Ketiga, proses globalisasi. Globalisasi dapat berupa monokulturalisme karena gelombang dahsyat globalisasi yang menggelinding menghancurkan bentuk-bentuk kehidupan bersama dan budaya tradisional. Hilangnya jati diri dan identitas budaya lokal memang menjadi ancaman besar globalisasi karena manusia hanya menjadi aktor dan konsumen dari imperialisme baru yang dibawa globalisasi.




Sikap dan Strategi Intelektual Muslim Dalam Menguasai IPTEK




Oleh Ovan Adohar
Sikap adalah penentu utama kemajuan seseorang atau masyarakat. Alvin Toffler dalam bukunya “The Third Wave“ menyebut peradaban manusia telah mencapai tiga gelombang yaitu revolusi pertanian, revolusi industri, dan revolusi informasi.
Saat ini kita berada dalam era revolusi industri 4.0. Istilah “ Industrie 4.0 “ berasal dari sebuah proyek dalam strategi tekhnologi pemerintahan Jerman. Kata kunci era industri 4.0 adalah konvergensi, yaitu perpaduan tekhnologi dari industri elektronika, otomotif, komunikasi, hiburan, media massa, dan lain-lain. Digital Devide (kesenjangan) adalah kesenjangan ekonomi dan sosial terkait akses, penggunaan, atau dampak tekhnologi informasi dan komunikasi (TIK). Perkembangan Sains dan Teknologi kian hari terasa semakin pesat. Bahkan telah diakui dapat membawa suatu perubahan besar dalam peradaban manusia. Banyak hasil dari perkembangan Sains dan Teknologi yang tadinya masih diluar angan-angan manusia kini sudah menjadi keperluan harian mereka. Contoh yang paling dekat adalah teknologi transportasi yang demikian cepat, dalam jangka waktu kurang dari 100 tahun, manusia sudah menemukan teknologi untuk terbang keluar angkasa, menciptakan pesawat yang lebih cepat dari suara, juga teknologi kapal selam.
Dari segi Informasi, sains dan teknologi juga mengalami kemajuan luar biasa. Penyampaian informasi yang dahulu memerlukan waktu hingga berbulan-bulan, kini dengan adanya telepon, handphone, faxsimile, internet, dapat sampai ke tujuan hanya dalam beberapa detik saja, bahkan pada masa yang (hampir) bersamaan.  Perkembangan dalam bidang lainpun seperti material, alat-alat transportasi, alat-alat rumah tangga, bioteknologi, kedokteran dan lain – lain maju dengan begitu pesat.
Generasi kita sekarang disebut generasi digital yang terbiasa dengan berbagai peralatan elektronik sejak usia masih sangat muda. Generasi pasca perang dunia adalah generasi yang didefinikan sebagai orang-orang yang lahir pasca perang dunia ke II. Dunia diperkenalkan dengan beberapa istilah baru mengenai karakter generasi sebagai berikut, pertama, generasi Baby Boomer, generasi yang lahir pasca perang dunia ke II, dengan rentang tahun lahir 1946-1960. Kedua, generasi x yaitu generasiyang lahir dalam rentang tahun kelahiran 1961 sampai dengan 1980 M. Ketiga, generasi y yaitu generasi yang lahir dalam rentang tahun kelahiran 1981 sampai dengan 1989 M, generasi ini disebut juga generasi millennial yang sudah mengenal tekhnologi. Keempat, genrasi z yaitu generasi yang lahir dalam rentang tahun kelahiran 1995 sampai dengan 2010, generasi yang mengembangkan tekhnologi yang dikembangkan di generasi y. Kelima, generasi Alpha yaitu generasi yang lahir dalam rentang tahun kelahiran 2011 sampai dengan 2025. Generasi ini merupakan generasi yang terdidik.
Kita harus mengakui bahwa sains dan teknologi telah mengambil peranan penting dalam pembangunan peradaban material atau lahiriah manusia. Penemuan-penemuan tersebut telah memberikan bermacam-macam kemudahan pada manusia, mulai dari transportasi, komunikasi, ilmu pengetahuan, kesehatan, rekayasa genetika, dan masih banyak lagi.
Hasil penelitian pada tahun 2014 menunjukan bahwa UIN AM belum optimal menggunakan internet sebagai media pembelajaran dan media dakwah. Banyak penyebab mengapa umat islam tertinggal dalam penguasaan dan penggunaan IPTEK, tidak lain dan tidak bukan karena kebodohan dan kemalasan.
Islam menganjurkan kepada umatnya untuk menguasai IPTEK. Al-Qur’an sangat memperhatikan ilmu pengetahuan agar manusia berpikir dan mengkaji alam semesta sehingga melahirkan suatu kesadaran akan kemahakuasaan Allah. Konsep pembangunan ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an bersifat integrative dan komprehensif. Afzalur Rahman mengatakan bahwa filsafat hidup yang diajarkan Al-Qur’an memberikan gambaran yang sempurna, termasuk kepercayaan kepada benda beserta nilainya, juga kepercayaan kepada dunia dibalik benda serta nilainya.
Tetapi sangat disayangkan sampai saat ini, kebanyakan ummat Islam masih menjadi pengguna/konsumen produk sains, teknologi dan industri yang ditemukan atau dibuat oleh saintis, teknolog dan industrialis bukan Islam. Produksi umat Islam masih berbasiskan sumber daya alam yang mempunyai nilai tambah (added value) yang rendah, belum berbasis sains dan teknologi yang mempunyai nilai tambah yang tinggi. Begitu juga dengan para Ilmuwan dan teknolog Islam belum menjadi satu kelompok yang maju, berilmu pengetahuan dan berteknologi tinggi yang bisa menjadi rujukan dan tempat konsultasi para Ilmuwan, saintis dan teknolog dunia lainnya.
Menurut Prof. Dr. Abdus Salam, ”Umat Islam tertinggal dalam bidang sains dan teknologi karena beberapa sebab diantaranya: Tidak mempunyai komitmen terhadap sains, baik sains terapan maupun sains murni, tidak memiliki hasrat yang kuat untuk mengusahakan tercapainya kemandirian sains dan teknologi (self reliance), tidak membangunkan kerangka institutional dan legal yang cukup untuk mendukung perkembangan sains dan menerapkan cara yang tidak tepat dalam menjalankan manajemen kegiatan di bidang sains dan teknologi. Ilmuwan dan teknolog hendaknya bersikap kritis, dan difasilitasi oleh negara agar terbentuk kelompok-kelompok intelektual yang aktif mengadakan kegiatan ilmiah.
Umat islam sangat tertinggal dalam IPTEK. Prof. Baiquni dalam bukunya “Al Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” menguraikan, ”Diantara sebab tertinggalnya umat Islam dalam bidang sains dan teknologi adalah:  Pertama, adanya dikotomi di kalangan ulama Islam yang mungkin tidak begitu memahami atau salah faham terhadap buah fikiran Imam Al Ghazali, sehingga mereka memisahkan ilmu-ilmu agama dari sains dan teknologi. Selain itu para ulama terdahulu, mereka adalah pakar dalam  bidang agama, dan juga sains. Adapun para ulama agama sekarang tidak begitu menguasai sains, sehingga mereka mencoba menjauhkan pengikut-pengikutnya dari pengaruh ahli ilmu kauniyah. Hal ini mereka buat agar terbebas dari pertanyaan-pertanyaan krtitis murid-murid mereka, sedangkan mereka tidak dapat menjawabnya. Kedua, embargo sains dan teknologi yang dibuat oleh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang, lebih-lebih lagi negara umat Islam,  sehingga jumlah pakar sains di negara-negara Islam jauh lebih kecil dari pada yang ada di negara-negara bukan Islam, Institusi pendidikan sains dan teknologi di negara-negara Islam jauh lebih kecil dari pada yang ada di negara-negara bukan Islam.”
Begitu juga dengan Profesor. BJ. Habibie, yang terkenal dengan alih teknologi, dengan berfokus pada penguasaan teknologi tingkat tinggi. Melalui empat tahapan alih teknologinya beliau mencoba mengejar ketertinggalan Indonesia dalam bidang sains dan teknologi, antara lain : Pertama, pembelian Lisensi untuk memproduksi barang-barang dagangan yang ada di pasar dunia, dengan design dan teknologi yang telah disiapkan oleh pihak penjual lisensi yang berada di dalam dan luar negeri. Kedua, integrasi teknologi baik yang diperoleh dari hasil pembelian lisensi maupun pengembangan sendiri yang memungkinkan modifikasi dan adaptasi untuk mendisain produk baru. Ketiga, penciptaan teknologi baru dengan mempergunakan kemampuan teknologi yang telah ada dalam bentuk himpunan lisensi. Keempat, hasil research, developmentdan terbina melalui pengalaman integrasi teknologi serta pengembangan sains secara besar-besaran untuk mempertahankan keunggulan teknologi yang telah dikuasai, sehingga produk-produk yang dihasilkan tetap unggul dan mampu bersaing di pasar dunia.
Tentu dunia dan Ummat Islam sangat berterima kasih dan berhutang budi terhadap kontribusi para ahli yang telah memetakan, bahkan mencoba menjalankan program-program dalam rangka mengatasi hal yang menjadi kelemahan ummat. Sebagai contoh Habibi, dengan program-programnya telah berhasil menciptakan teknologi tingkat tinggi yang diakui dunia, misalnya teknologi pesawat terbang.
Namun,  tawaran solusi ketiga tokoh tersebut masih belum sempurna untuk bisa membuat ummat ini bangkit dari keterpurukan ilmu pengetahuan. Alih teknologi adalah hal yang memang sangat dibutuhkan , terutama untuk mengejar ketertinggalan dalam sains terapan.
Sejarah telah menunjukkan bagaimana Rasulullah Saw. dengan menggunakan ilmu dan kaedah wahyu dari Allah, telah mendidik para sahabat yang sebagaian besar buta huruf, terbelakang dalam ilmu pengetahuan, dibandingkan dengan negara lain saat itu. Tanpa ada institusi pendidikan formal, dan institusi-institusi Research and Development dalam berbagai bidang ilmu, tetapi telah sukses mendidik para sahabat menjadi pribadi unggul.
Dalam perkembangan IPTEK seorang muslim sejati harus mempunyai sikap dan strategi dalam mengembangkan IPTEK karena dengan menguasai Tekhnologi kita menguasai dunia. Adapaun sikap dan strateginya yaitu dengan memahami A-Qur’an, memahami perkembangan zaman. Islam dan zaman harus berjalan selaras.

Telaah Kritis Kepemimpinan Politik Indonesia dalam Menghadapi Pemilu 2019



         
      Oleh Ovan Adohar

 Demokrasi di Indonesia pada dasarnya diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi yang menjadi problem adalah metode ataukah sarana dalam memilih leader atau pemimpin yang akan memimpin bangsa Indonesia. Demokrasi di Indonesia seolah mementingkan kepentingan partai daripada kepentingan masyarakat Indonesia. Budaya politik di Indonesia masih bersifat linear antara calon leader dengan partai pengusung di pesta demokrasi Indonesia yang seolah bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi kepentingan partai pengusungnya. 
Anggaran besar dalam pesta demokrasi di Indonesia menjadi problem karena pembiayaan yang cukup besar baik dari penyelenggara maupun calon leader di Indonesia. Ketidak pahaman sebagian masyarakat terhadap pesta demokrasi mengakibatkan mereka menjadi pemilih pragmatis dan tidak melihat figur leader untuk memimpin Indonesia.
Permasalahan kepemimpinan di Indonesia memang sudah menjadi warisan di negeri ini sehingga memang kita membutuhkan sistem demokrasi yang dapat menghasilkan figur - figur pemimpin masa depan bangsa untuk mengatasi semua problem kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Pemimpin yang kita harapkan adalah pemimpin politik yang banyak melahirkan visi dan misi yang berkepanjangan.
Pemimpin yang dibutuhkan di Indonesia pada tahun 2019 adalah pemimpin karismatik dan pemimpin transformasi. Pemimpin karismatik adalah pemimpin yang di segani, sedangkan pemimpin transformasi adalah pemimpin yang menerapkan sebuah proses secara berangsur-angsur.
Dalam teori politik harus ada input, proses, output, dan featback, yang bertujuan sebagai evaluasi dari sistem politik Indonesia pada tahun 2019 mendatang. Cuman yang menjadi persoalannya dalam penerapan tekhnologi informasi karena masyarakat sudah krisis kepercayaan dan banyaknya praktek manipulasi proses terhadap tekhnologi informasi tersebut.