Oleh Ovan Adohar
Akar historis demokrasi terbagi menjadi beberapa bagian
yakni, pertama, demokrasi merupakan
konsep pemerintah di Athena pada masa yunani kuno. Kedua, islam dalam pengangkatan khalifah Arrasyidah. Ketiga, eropa
pada masa renaisans, dan keempat, para sarjana Indonesia yang kuliahdi eropa.
Pada saat itu yunani kuno belum meletakan dasar-dasar
demokrasi. Fitrah dunia yang diciptakan
Tuhan menyebabkan dunia diisi oleh populasi dan kondisi bumi yang beraneka ragam.
Demokrasi sebagai suatu sistem sosial dan politik adalah sistem yang ditemukan
dan dikembangkan untuk meminimalisir dominasi atau superioritas. Demokrasi di
tubuh islam dimulai pada saat jenazahnya Rasulullah tiga hari belum dimakamkan,
kenapa jenazahnya Rasulullah 3 hari belum dimakamkan? Jawabannya adalah, pertama, Rasulullah tidak menyiapkan
penggantinya, kedua, Belum ada yang
menggantikann rasulullah sebagai pemimpin, dan ketiga, Lebih kepada kemaslahatan umat.
Prinsip
terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta
para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan
hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap
optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab). Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya
624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di
Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial.
Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun
dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara
berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar
dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani. Konsep
Masyarakat madani juga terdapat pada tamadhun
(masyarakat yang beradaban) yang diperkenalkan oleh Ibn
Khaldun (2001) dalam konsep Al Madinah al Fadhilah (Madinah sebagai
Negara Utama)
Dinamika demokrasi dalam
tatanan peradaban Indonesia yang multikultural mengantarkan Indonesia sebagai
salah satu negara terbaik dalam implementasi demokrasi. Terbukti dengan jumlah
bahasa yang banyak (665 bahasa), jumlah suku yang banyak (300 suku), jumlah
pulai yang banyak (17.670, besar dan kecil), presentase keikutsertaaan
raja-raja nusantara terhadap NKRI (Javanese 45 %, Sundanese 14 %, Maduranese
7,5 %, Coastal Malays 7,5 %, dll 26 %).
Menurut Wahidin ada tiga teori
sosial yaitu melting pot I: Anglo
Conformity, melting pot II: Ethnic synthesis, cultural pluralism: mosaic
analogy. Dalam pekembangan budaya yang majemuk, maka suatu keharusan bahwa
budaya merupakan kekuatan nasional. Modal
budaya inilah yang seharusnya digali dan digalang menjadi kekuatan nasional,
bukan saja untuk mengokohkan kebudayaan nasional, tetapi lebih penting adalah
memberikan tempat yang setara, sejajar, dan adil bagi setiap kebudayaan untuk
berpartisipasi aktif dalam pembangunan negara-bangsa.
Berkaitan dengan upaya
membagun multikulturalisme di Indonesia, menurut Hutington ada tiga tantangan
multikulturalisme dewasa ini yaitu Pertama,
hegemoni Barat pada bidang politik, ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan.
Hegemoni Barat melalui wacana modernisasi yang disebarluaskan pada
negara-negara berkembang bertendensi pada terbentuknya budaya modern yang
dibedakan dengan budaya primitif dan barbarian. Kedua,
esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi
budaya sendiri tanpa jatuh ke dalam pandangan yang xenopobhia dan
etnosentrisme. Ketiga,
proses globalisasi. Globalisasi dapat berupa monokulturalisme karena gelombang
dahsyat globalisasi yang menggelinding menghancurkan bentuk-bentuk kehidupan
bersama dan budaya tradisional. Hilangnya jati diri dan identitas budaya lokal
memang menjadi ancaman besar globalisasi karena manusia hanya menjadi aktor dan
konsumen dari imperialisme baru yang dibawa globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar