Senin, 21 Mei 2018

Demokrasi dan Peradaban Indonesia





Oleh Ovan Adohar
Akar historis demokrasi terbagi menjadi beberapa bagian yakni, pertama, demokrasi merupakan konsep pemerintah di Athena pada masa yunani kuno. Kedua, islam dalam pengangkatan khalifah Arrasyidah. Ketiga, eropa pada masa renaisans, dan keempat, para sarjana Indonesia yang kuliahdi eropa.
Pada saat itu yunani kuno belum meletakan dasar-dasar demokrasi. Fitrah dunia yang diciptakan Tuhan menyebabkan dunia diisi oleh populasi dan kondisi bumi yang beraneka ragam. Demokrasi sebagai suatu sistem sosial dan politik adalah sistem yang ditemukan dan dikembangkan untuk meminimalisir dominasi atau superioritas. Demokrasi di tubuh islam dimulai pada saat jenazahnya Rasulullah tiga hari belum dimakamkan, kenapa jenazahnya Rasulullah 3 hari belum dimakamkan? Jawabannya adalah, pertama, Rasulullah tidak menyiapkan penggantinya, kedua, Belum ada yang menggantikann rasulullah sebagai pemimpin, dan ketiga, Lebih kepada kemaslahatan umat.
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab). Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani. Konsep Masyarakat madani juga terdapat pada tamadhun (masyarakat yang beradaban) yang diperkenalkan oleh Ibn Khaldun (2001) dalam konsep Al Madinah al Fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama)
Dinamika demokrasi dalam tatanan peradaban Indonesia yang multikultural mengantarkan Indonesia sebagai salah satu negara terbaik dalam implementasi demokrasi. Terbukti dengan jumlah bahasa yang banyak (665 bahasa), jumlah suku yang banyak (300 suku), jumlah pulai yang banyak (17.670, besar dan kecil), presentase keikutsertaaan raja-raja nusantara terhadap NKRI (Javanese 45 %, Sundanese 14 %, Maduranese 7,5 %, Coastal Malays 7,5 %, dll 26 %).
Menurut Wahidin ada tiga teori sosial yaitu melting pot I: Anglo Conformity, melting pot II: Ethnic synthesis, cultural pluralism: mosaic analogy. Dalam pekembangan budaya yang majemuk, maka suatu keharusan bahwa budaya merupakan kekuatan nasional. Modal budaya inilah yang seharusnya digali dan digalang menjadi kekuatan nasional, bukan saja untuk mengokohkan kebudayaan nasional, tetapi lebih penting adalah memberikan tempat yang setara, sejajar, dan adil bagi setiap kebudayaan untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan negara-bangsa.
Berkaitan dengan upaya membagun multikulturalisme di Indonesia, menurut Hutington ada tiga tantangan multikulturalisme dewasa ini yaitu Pertama, hegemoni Barat pada bidang politik, ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan. Hegemoni Barat melalui wacana modernisasi yang disebarluaskan pada negara-negara berkembang bertendensi pada terbentuknya budaya modern yang dibedakan dengan budaya primitif dan barbarian. Kedua, esensialisasi budaya. Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya sendiri tanpa jatuh ke dalam pandangan yang xenopobhia dan etnosentrisme. Ketiga, proses globalisasi. Globalisasi dapat berupa monokulturalisme karena gelombang dahsyat globalisasi yang menggelinding menghancurkan bentuk-bentuk kehidupan bersama dan budaya tradisional. Hilangnya jati diri dan identitas budaya lokal memang menjadi ancaman besar globalisasi karena manusia hanya menjadi aktor dan konsumen dari imperialisme baru yang dibawa globalisasi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar